Rabu, 16 Oktober 2013

Mulih Ka Bumi (Pulang ke Rumah/Back Home)

Another short stories~ 
still in Indonesia 'cause I can't write the English one OTL
nah, akhirnya author yang lama hiatus balik lagi dan maaf! bukan fakta... malah cerita! Silahkan dibaca~

Kelamnya malam disertai basahnya trotoar yang kutapaki di kota Manchester, Britania Raya membuat siapapun akan merasa was-was untuk berada diluar. Ditambah dinginnya udara menusuk hingga ketulang membuatku mengencangkan mantel yang membungkus badan. Mungkin secangkir teh hangat bisa membuat keadaanku lebih baik. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali berada ditempat tidur dan tak berada disini. Tapi, apa boleh buat saat salah satu temanmu mengajakmu makan malam. Kau tentunya tidak merasa nyaman untuk menolak.
Aku hanyalah salah satu dari segelintir orang Indonesia yang mencari sesuap nasi di tanah orang. Seorang mojang dari Ciamis, sebuah kota kecil di Jawa Barat. Ditarik ke tanah asing ini saat umurku menginjak 20 tahun dan itupun saat masih memiliki titel mahasiswa. Jurusan yang kuambil bukanlah hal yang bisa dibilang “wah” bagi masyarakat awam. Tapi aku bersyukur bisa pergi ke tanah yang berbeda sangat dari tempatku berada.
Memang hal pertama yang kurasakan adalah culture shock dan biasanya banyak warga asing merasakan hal ini. Ah, aku tak menyangka langkah kakiku telah sampai di depan apartemen milikku. Dengan perasaan lelah kupaksa badanku menuju tempat tidur. Sesampainya disana, ternyata tumpukan pekerjaan menghiasi meja. Laptop beserta flash disk ikut menghiasi meja kayu tersebut. Tanpa melihat tumpukan kerja, kurebahkan badanku dan membiarkan kesadaranku hilang.
Pagi hari, saat yang tepat dimana semua orang memulai aktifitas pertamanya. Aku memulai hari sebelum matahari terbit untuk bermunajat kepada Allah SWT agar diberi keberkahan hidup. Seusai berdzikir dan bermunajat kepada-Nya, kurapikan peralatan sehabis sembahyang. Bola mata hitamku menatap sebuah foto yang terdapat dimeja kerja. Disitu terdapat aku beserta kedua orang tuaku. Foto itu diambil saat umurku masih 17 tahun dimana nama peserta didik melekat pada diriku. Ah, masa SMA yang indah beserta tugas yang tak terlalu sulit seperti sekarang.
Aku berdiri menuju dapur kecil yang terdapat dipojok ruangan. Walaupun ukurannya kecil, peralatn disini cukup lengkap. Bahkan ada sebuah oven melengkapi kompor listrik. Hidupku cukup menyenangkan disini. Kecuali aku masih tetap single hingga sekarang. Lagi pula aku tak memikirkan tentang hal itu dulu. Aku masih punya kewajiban untuk membantu keuangan dan menyekolahkan adik beserta saudara yang memang meminta bantuanku.
Aku menguap, memaksa badanku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Disini tidak mandi air dingin layaknya di Indonesia. Kalau kau berani mandi menggunakan air dingin, pasti akan merasa menyesal melakukannya. Terutama saat musim dingin atau awal musim semi dimana salju turun. Uh, benar-benar dingin sekali.
Kopi sudah kuseduh, aromanya semerbak memenuhi ruangan ini. Mungkin jika ada kolegaku, ia akan memandangku aneh. Kenapa? Karena faktanya orang Inggris lebih menyukai teh daripada kopi. Bahkan ada beberapa yang membenci minuman berkafein tersebut. Kalau aku sudah terbiasa dengan kedua jenis minuman tersebut.
Saat masih di Indonesia mungkin emak akan menyuruhku untuk sarapan dengan makanan buatannya. Tapi sekarang, hanya dua potong roti bakar beroles mentega jadi sarapan sehari-hari.
Wiwiiinnn! Sarapanna tos janten!*” ah, beliau akan menggunakan bahasa Sunda dengan logatnya yang kental
Muhun, emak!**” hanya itulah yang kukatakan dan akhirnya memenuhi perut
Aku mengedipkan mata berkali-kali karena perih terlalu lama membuka mata yang disebabkan melamun. Sepertinya rasa rindu pada rumah muncul lagi. Tapi, aku tak ingin pulang karena merasa malu dan takut pada negara sendiri. Merasa seperti bukan bagian dari Indonesia lagi. Kalau ya, bagaimana bisa aku lupa beberapa kata bahasa sunda? Itu sudah cukup menjelaskan.
Aku merasa malu bukan karena perasaan bukan bagian dari Indonesia lagi. Melainkan dikarenakan keadaan Indonesia dirasa cukup asing. Aku membaca media masa Indonesia via online dan hanya wajah-wajah asing yang kulihat. Wajah-wajah yang tak sebersahaja dulu. Bahkan beberapa yang kubaca, tidak mencerminkan negara kesayanganku itu lagi. Aku merasa takut, dimana orang dalam negeri sendiri membuat negaramu tak nyaman lagi.
Memang benar apa yang dikata orang kalau kita di tanah orang, kita bisa melihat cerminan diri sendiri. Secara telanjang bulat alias porno. Itu juga menurut sebuah cerita pendek karya satrawan terkenal dari Ibu Pertiwi. Membuat siapapun merasa malu melihatnya. Aku mendengar sebuah cerita tentang keluh kesah orang-orang kukenal dimana Indonesia terkena inflasi sehingga harga melambung tinggi.
Aku hanya bisa merasa sedih mendengarnya. Bahkan pernah aku marah besar saat beberapa mafia yang menyakiti Nusantara justru dengan bebasnya berjalan diluar kamar hotel rodeo mereka.  Tapi toh, aku tak akan bisa membuat perubahan apalagi kalau kau adalah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Kesibukanku dikantor adalah bagian menghitung transaksi perusahaan atau seiring disebut akuntan. Bola mata hitamku memindai kata-kata berisi laporan keuangan yang belum disususn secara benar. Setelah ini aku harus membuat akun jurnal dan terakhir jurnal laporan untuk dilaporkan.
KRIIING
Suara telepon genggamku mengganggu konsentrasi dalam menghitung. Mau tak mau kuangkat, sebuah nomor yang tak kukenal. Ingin kutolak panggilan itu, tapi kuurungkan dan lebih memilih menjawabnya.
“Halo? Ini teh Wiwin?” itulah suara diseberang
Aku terkejut mendengarnya, “Iya, dengan siapa?”
Kuakui bibirku berkedut dan terasa kaku karena sudah lama tak memakai bahasa Indonesia secara langsung karena hanya dalam forum internet. Lagipula susah sekali mencari warga serumpun yang mau diajak berbahasa Indonesia. Kufokuskan diriku pada orang yang meneleponku.
“I…ini the dari Ciamis, eneng Lana!” terdengar sekali logat daerah tersebut
“Ahh, eneng Lana! Kumaha? Damang?***” air mata tak kusangka muncul disudut mataku
“Alhamdulilla, teteh! Emak hoyong éteh mulih kadieu…****”
Ah, dia memintaku pulang. Apa yang harus kulakukan? Pekerjaanku menumpuk sekali. Aku tak mungkin meninggalkan Manchester, bukan?
Kumaha atuh, teteh teu bisa! Teteh keur sibuk*****”
Muhun teh, nuhun geus jawab telepon******”
Telepon ditutup, aku menghela nafas panjang. Untuk pertama kalinya keluarga di Indonesia meneleponku. Aku menutup mata kemudian menatap jalanan kota Manchester dari lantai 12 gedung ini. Entah kenapa permintaan tadi terngiang-ngiang dikepalaku. Aku juga tak ingin kembali kesana karena malas. Tak kupirkan lagi telepon tadi dan melanjutkan kerja. Atau kalau tidak atasanku mengamuk karena pekerjaan yang tak selesai.
Berjam-jam bekerja, tak kusangka selesai juga. Membereskan kertas-kertas dan mematikan Laptop adalah hal yang kulakukan saat ini. Melihat telepon genggam untuk memeriksa waktu, membuat perasaan ingin pulang ke kampung halaman menyeruak lagi. Mungkinkah ada hal buruk hingga membuatku ingin benar-benar pulang?
Sesampainya dirumah aku membersihkan badan dan kemudian kembali menatap layar Laptop. Kali ini bukan karena pekerjaan, haus akan informasi adalah alasan utama. Aku membuka website berita Indonesia dan kudapati adalah masalah negara yang sedang konflik. Tumben sekali bukan berita korupsi yang berkoar-koar. Hingga sebuah berita membahas keadaan local menarik perhatian mata.
“SEBUAH LONGSOR TERJADI DI CIAMIS MELANDA BEBERAPA DESA”
Judul berita itu membuat bibirku bergetar, tenggorokan kering dan badan yang bergetar. Kuharap desa Emak tidak terkena dampaknya. Semoga keluargaku baik-baik saja. Hingga otakku menyadari tentang telepon tadi. Mungkinkah?
Kutelepon balik nomor tadi dan tak diangkat. Kutelepon kembali hingga berulang-ulang. Sampai diangkat, kudengar hanyalah sebuah suara tangisan dalam telepon itu. Wajahku pucat pasi kalau dilihat lewat kaca. Aku memegang teleponku dengan tangan bergetar.
Lana, kumaha di dinya?*******” aku bertanya hal itu dengan suara bergetar
Teh, emak hoyong ngomong jeung teteh********” hanya itulah responnya
Aku bisa mendengar kalau telepon genggam sedang diberikan.
Wiwinmulih ka bumi atuh. Emak teh hoyooong papanggih jeung Wiwin. Wiwin didinya damang? Emak teh ngarasa senangWiwin, Emak teh sayaaang kau Wiwin*********” nada seseorang yang terdengar sudah berumur tersengal-sengal akhirnya terhenti, hanya ada keheningan dan tangisan histeris pecah begitu saja.
Aku tak bisa bicara apa-apa lagi. Telepon genggam yang kupegang erat terjatuh kelantai. Menyebabkan benda itu hancur menjadi bagian-bagian. Aku tak peduli dengan benda itu, aku baru saja kehilangan seseorang.
Persetan dengan keadaan Indonesia. Persetan dengan berita tentang keadaan disana sedang bermasalah hingga polisi ditembak. Persetan dengan berita tentang wajah-wajah asing di Indonesia.
Abdi hoyong mulih ka bumis
* Wiwin! Sarapannya telah matang!
** Iya, Emak!
*** Ahh, eneng (semacam panggilan untuk gadis yang lebih muda) Lana! Bagaimana? Sehat-sehat saja?
**** Emak pengen teteh kesini
***** Bagaimana ini, kakak (perempuan) tidak bisa! Kakak sedang sibuk!
****** Iya teh, terima kasih sudah menjawab telepon
******* Bagaimana disana?
******** Kak, Emak ingin mengobrol dengan kakak
********* Wiwin… pulang ke rumah ya. Emak ingin sekali bertemu dengan Wiwin. Wiwin disana baik-baik saja? Emak merasa senang… Emak sayang kepada Wiwin




Tidak ada komentar:

Posting Komentar