Tampilkan postingan dengan label Short Stories. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Short Stories. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Oktober 2013

Mulih Ka Bumi (Pulang ke Rumah/Back Home)

Another short stories~ 
still in Indonesia 'cause I can't write the English one OTL
nah, akhirnya author yang lama hiatus balik lagi dan maaf! bukan fakta... malah cerita! Silahkan dibaca~

Kelamnya malam disertai basahnya trotoar yang kutapaki di kota Manchester, Britania Raya membuat siapapun akan merasa was-was untuk berada diluar. Ditambah dinginnya udara menusuk hingga ketulang membuatku mengencangkan mantel yang membungkus badan. Mungkin secangkir teh hangat bisa membuat keadaanku lebih baik. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali berada ditempat tidur dan tak berada disini. Tapi, apa boleh buat saat salah satu temanmu mengajakmu makan malam. Kau tentunya tidak merasa nyaman untuk menolak.
Aku hanyalah salah satu dari segelintir orang Indonesia yang mencari sesuap nasi di tanah orang. Seorang mojang dari Ciamis, sebuah kota kecil di Jawa Barat. Ditarik ke tanah asing ini saat umurku menginjak 20 tahun dan itupun saat masih memiliki titel mahasiswa. Jurusan yang kuambil bukanlah hal yang bisa dibilang “wah” bagi masyarakat awam. Tapi aku bersyukur bisa pergi ke tanah yang berbeda sangat dari tempatku berada.
Memang hal pertama yang kurasakan adalah culture shock dan biasanya banyak warga asing merasakan hal ini. Ah, aku tak menyangka langkah kakiku telah sampai di depan apartemen milikku. Dengan perasaan lelah kupaksa badanku menuju tempat tidur. Sesampainya disana, ternyata tumpukan pekerjaan menghiasi meja. Laptop beserta flash disk ikut menghiasi meja kayu tersebut. Tanpa melihat tumpukan kerja, kurebahkan badanku dan membiarkan kesadaranku hilang.
Pagi hari, saat yang tepat dimana semua orang memulai aktifitas pertamanya. Aku memulai hari sebelum matahari terbit untuk bermunajat kepada Allah SWT agar diberi keberkahan hidup. Seusai berdzikir dan bermunajat kepada-Nya, kurapikan peralatan sehabis sembahyang. Bola mata hitamku menatap sebuah foto yang terdapat dimeja kerja. Disitu terdapat aku beserta kedua orang tuaku. Foto itu diambil saat umurku masih 17 tahun dimana nama peserta didik melekat pada diriku. Ah, masa SMA yang indah beserta tugas yang tak terlalu sulit seperti sekarang.
Aku berdiri menuju dapur kecil yang terdapat dipojok ruangan. Walaupun ukurannya kecil, peralatn disini cukup lengkap. Bahkan ada sebuah oven melengkapi kompor listrik. Hidupku cukup menyenangkan disini. Kecuali aku masih tetap single hingga sekarang. Lagi pula aku tak memikirkan tentang hal itu dulu. Aku masih punya kewajiban untuk membantu keuangan dan menyekolahkan adik beserta saudara yang memang meminta bantuanku.
Aku menguap, memaksa badanku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Disini tidak mandi air dingin layaknya di Indonesia. Kalau kau berani mandi menggunakan air dingin, pasti akan merasa menyesal melakukannya. Terutama saat musim dingin atau awal musim semi dimana salju turun. Uh, benar-benar dingin sekali.
Kopi sudah kuseduh, aromanya semerbak memenuhi ruangan ini. Mungkin jika ada kolegaku, ia akan memandangku aneh. Kenapa? Karena faktanya orang Inggris lebih menyukai teh daripada kopi. Bahkan ada beberapa yang membenci minuman berkafein tersebut. Kalau aku sudah terbiasa dengan kedua jenis minuman tersebut.
Saat masih di Indonesia mungkin emak akan menyuruhku untuk sarapan dengan makanan buatannya. Tapi sekarang, hanya dua potong roti bakar beroles mentega jadi sarapan sehari-hari.
Wiwiiinnn! Sarapanna tos janten!*” ah, beliau akan menggunakan bahasa Sunda dengan logatnya yang kental
Muhun, emak!**” hanya itulah yang kukatakan dan akhirnya memenuhi perut
Aku mengedipkan mata berkali-kali karena perih terlalu lama membuka mata yang disebabkan melamun. Sepertinya rasa rindu pada rumah muncul lagi. Tapi, aku tak ingin pulang karena merasa malu dan takut pada negara sendiri. Merasa seperti bukan bagian dari Indonesia lagi. Kalau ya, bagaimana bisa aku lupa beberapa kata bahasa sunda? Itu sudah cukup menjelaskan.
Aku merasa malu bukan karena perasaan bukan bagian dari Indonesia lagi. Melainkan dikarenakan keadaan Indonesia dirasa cukup asing. Aku membaca media masa Indonesia via online dan hanya wajah-wajah asing yang kulihat. Wajah-wajah yang tak sebersahaja dulu. Bahkan beberapa yang kubaca, tidak mencerminkan negara kesayanganku itu lagi. Aku merasa takut, dimana orang dalam negeri sendiri membuat negaramu tak nyaman lagi.
Memang benar apa yang dikata orang kalau kita di tanah orang, kita bisa melihat cerminan diri sendiri. Secara telanjang bulat alias porno. Itu juga menurut sebuah cerita pendek karya satrawan terkenal dari Ibu Pertiwi. Membuat siapapun merasa malu melihatnya. Aku mendengar sebuah cerita tentang keluh kesah orang-orang kukenal dimana Indonesia terkena inflasi sehingga harga melambung tinggi.
Aku hanya bisa merasa sedih mendengarnya. Bahkan pernah aku marah besar saat beberapa mafia yang menyakiti Nusantara justru dengan bebasnya berjalan diluar kamar hotel rodeo mereka.  Tapi toh, aku tak akan bisa membuat perubahan apalagi kalau kau adalah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Kesibukanku dikantor adalah bagian menghitung transaksi perusahaan atau seiring disebut akuntan. Bola mata hitamku memindai kata-kata berisi laporan keuangan yang belum disususn secara benar. Setelah ini aku harus membuat akun jurnal dan terakhir jurnal laporan untuk dilaporkan.
KRIIING
Suara telepon genggamku mengganggu konsentrasi dalam menghitung. Mau tak mau kuangkat, sebuah nomor yang tak kukenal. Ingin kutolak panggilan itu, tapi kuurungkan dan lebih memilih menjawabnya.
“Halo? Ini teh Wiwin?” itulah suara diseberang
Aku terkejut mendengarnya, “Iya, dengan siapa?”
Kuakui bibirku berkedut dan terasa kaku karena sudah lama tak memakai bahasa Indonesia secara langsung karena hanya dalam forum internet. Lagipula susah sekali mencari warga serumpun yang mau diajak berbahasa Indonesia. Kufokuskan diriku pada orang yang meneleponku.
“I…ini the dari Ciamis, eneng Lana!” terdengar sekali logat daerah tersebut
“Ahh, eneng Lana! Kumaha? Damang?***” air mata tak kusangka muncul disudut mataku
“Alhamdulilla, teteh! Emak hoyong éteh mulih kadieu…****”
Ah, dia memintaku pulang. Apa yang harus kulakukan? Pekerjaanku menumpuk sekali. Aku tak mungkin meninggalkan Manchester, bukan?
Kumaha atuh, teteh teu bisa! Teteh keur sibuk*****”
Muhun teh, nuhun geus jawab telepon******”
Telepon ditutup, aku menghela nafas panjang. Untuk pertama kalinya keluarga di Indonesia meneleponku. Aku menutup mata kemudian menatap jalanan kota Manchester dari lantai 12 gedung ini. Entah kenapa permintaan tadi terngiang-ngiang dikepalaku. Aku juga tak ingin kembali kesana karena malas. Tak kupirkan lagi telepon tadi dan melanjutkan kerja. Atau kalau tidak atasanku mengamuk karena pekerjaan yang tak selesai.
Berjam-jam bekerja, tak kusangka selesai juga. Membereskan kertas-kertas dan mematikan Laptop adalah hal yang kulakukan saat ini. Melihat telepon genggam untuk memeriksa waktu, membuat perasaan ingin pulang ke kampung halaman menyeruak lagi. Mungkinkah ada hal buruk hingga membuatku ingin benar-benar pulang?
Sesampainya dirumah aku membersihkan badan dan kemudian kembali menatap layar Laptop. Kali ini bukan karena pekerjaan, haus akan informasi adalah alasan utama. Aku membuka website berita Indonesia dan kudapati adalah masalah negara yang sedang konflik. Tumben sekali bukan berita korupsi yang berkoar-koar. Hingga sebuah berita membahas keadaan local menarik perhatian mata.
“SEBUAH LONGSOR TERJADI DI CIAMIS MELANDA BEBERAPA DESA”
Judul berita itu membuat bibirku bergetar, tenggorokan kering dan badan yang bergetar. Kuharap desa Emak tidak terkena dampaknya. Semoga keluargaku baik-baik saja. Hingga otakku menyadari tentang telepon tadi. Mungkinkah?
Kutelepon balik nomor tadi dan tak diangkat. Kutelepon kembali hingga berulang-ulang. Sampai diangkat, kudengar hanyalah sebuah suara tangisan dalam telepon itu. Wajahku pucat pasi kalau dilihat lewat kaca. Aku memegang teleponku dengan tangan bergetar.
Lana, kumaha di dinya?*******” aku bertanya hal itu dengan suara bergetar
Teh, emak hoyong ngomong jeung teteh********” hanya itulah responnya
Aku bisa mendengar kalau telepon genggam sedang diberikan.
Wiwinmulih ka bumi atuh. Emak teh hoyooong papanggih jeung Wiwin. Wiwin didinya damang? Emak teh ngarasa senangWiwin, Emak teh sayaaang kau Wiwin*********” nada seseorang yang terdengar sudah berumur tersengal-sengal akhirnya terhenti, hanya ada keheningan dan tangisan histeris pecah begitu saja.
Aku tak bisa bicara apa-apa lagi. Telepon genggam yang kupegang erat terjatuh kelantai. Menyebabkan benda itu hancur menjadi bagian-bagian. Aku tak peduli dengan benda itu, aku baru saja kehilangan seseorang.
Persetan dengan keadaan Indonesia. Persetan dengan berita tentang keadaan disana sedang bermasalah hingga polisi ditembak. Persetan dengan berita tentang wajah-wajah asing di Indonesia.
Abdi hoyong mulih ka bumis
* Wiwin! Sarapannya telah matang!
** Iya, Emak!
*** Ahh, eneng (semacam panggilan untuk gadis yang lebih muda) Lana! Bagaimana? Sehat-sehat saja?
**** Emak pengen teteh kesini
***** Bagaimana ini, kakak (perempuan) tidak bisa! Kakak sedang sibuk!
****** Iya teh, terima kasih sudah menjawab telepon
******* Bagaimana disana?
******** Kak, Emak ingin mengobrol dengan kakak
********* Wiwin… pulang ke rumah ya. Emak ingin sekali bertemu dengan Wiwin. Wiwin disana baik-baik saja? Emak merasa senang… Emak sayang kepada Wiwin




Senin, 17 Desember 2012

Memoria, Requiem et Somnium (Memori, Simponi dan Mimpi)


Okay! For Indonesian Tomates (sebutan buat yang baca blog ini, absurd? memang! faktanya ini artinya tomat (jamak) dalam bahasa Spanyol :D)
today I post my short stories (actually this story was for some contest, but I cancel it!)

Sinar  mentari  menyapaku  lewat  jendela  kaca  rumah.  Aku  yang  masih  terbuai  dalam  mimpi  harus  terganggu  dengan  suara  alarm  handphone  yang  sengaja  ku-set.  Baru saja  kubuka  mataku,  beberapa  kertas  berisi  dokumen  penting  menyapa.  Aku  melakukan  sedikit  peregangan  agar  rasa  kantukku  karena  mengerjakan  tugas  semalaman  menghilang.  Baru saja  aku  bangun,  sebuah  buku  agenda  jatuh  yang  memang  milikku.  Kubuka  agenda  tersebut,  mataku  membesar saat  melihat  catatan  yang  tertulis.

Jam 09.00 tanggal  31 Oktober peresmian  Luftthann  foundation

Langsung   adrenalinku  meningkat  dan  keringat  dingin  mengucur saat  melihat  jarum   jam  yang  menunjukkan   pukul  08.30.  Aku  bukanlah  seorang  yang  paling  suka  ditunggu,  justru  kalau  bisa  aku  yang  menunggu.  Banyak  yang  mengatakan  kalau  aku  itu  workaholic dan  paling  tidak  suka  dengan  ketidak  disiplinan  dan  terlambat.  Kali  ini  aku  sedang  memakai  baju  dan  bercermin,  melihat diriku   yang  berpenampilan  rapi  layaknya  eksekutif  muda.  Sebenarnya  aku  memang  memakai  pakaian  seperti  ini   dikarenakan  aku  adalah  pemilik  perusahaan  Luftthann  company  yang   berpusat  di  Jenewa,  Swiss.

Saat  jam  menunjukkan  pukul  08.40,  aku  langsung  saja  mengambil  kunci  mobil  yang  kutaruh  diatas  meja  kerja  tanpa  memperdulikan  sarapan  pagi  yang ditawarkan  pelayan.  Langsung  aku  menuju  garasi  dimana  mobil  Audi   A8  L  W12  Quattro  milikku  terparkir  manis  disana.  Aku  mengendarai  mobilku  dengan  kecepatan  tinggi  yang  untungnya  saat  itu  aku  melewati  jalan  alternatif  yang  sepi.

Kurang lebih  setelah  aku  berkendara sekitar  20  menit,  aku  sampai  di  tempat  peresmian  yayasan  kemanusiaan  yang  kudirikan  seminggu  yang  lalu.  Aku  hanya   bisa  meminta  maaf  saat  kutahu  bahwa  acara  ini  sudah   berjalan  sejak  5  menit  yang  lalu.  Untungnya  acara  itu   baru  sampai  pada  sambutan-sambutan. Beruntungnya  saat  aku  sampai  itulah  bagianku  memberi  sambutan.  Selesai  aku  memberi  sambutan  dan  persemian,  aku  langsung  saja  dipuji  oleh  beberapa  orang.  Aku  tahu  mereka  sebenarnya  hanya  mencari  perhatianku,  aku   tahu  sebenarnya  mereka  berkata  manis  karena  memiliki  tujuan  tertentu.  Aku  yang  memang  sudah  diajari  tata  krama  serta  hal  apa  yang  harus  dilakukan  saat  bersama  orang-orang  penjilat ini  yang  hanya  berbasa-basi.

Aku  tahu  semua  hal  yang  disekitarku  itu  hanya  kebohongan,  mulai  dari  mitra  perusahaan  hingga  pemegang  saham.  Merasa  tidak  nyaman  dengan  kebohongan  serta  kemunafikan,  aku  langsung  mohon  pamit.  Aku  langsung  pergi  mengendarai  mobilku  menuju  kantor  pusat.

Saat  aku  melewati  jalan  alternatif  tadi,  aku  melihat  seseorang  memakai  baju  putih  disebuah  padang  rumput.  Aku  merasa  penasaran,  untuk  apa  seseorang  ditengah  padang  rumput  sendirian  dan  berdiri  seolah  menunggu  suatu  hal.  Aku  menghentikan   mobil  Audiku  dan  keluar menuju  padang  rumput  itu.  Semakin  mendekat,  aku  mendengar  sebuah  nyanyian  yang  indah dan  berasal  dari  mulut  mungil  orang  misterius  itu.  Ketika  aku  cukup  dekat  melihat  penampilannya,  alangkah  terkejutnya  aku  saat  melihat  sosok  tersebut  adalah  wanita  yang  sebaya  denganku.

Entah  ini hanya  penglihatanku  atau  bukan,  menurutku  wanita  dihadapanku  ini  ialah  gadis  tercantik  serta  termanis  dalam  hidupku. Awalnya  aku  terkesima,  namun  aku   menampar  diriku  sendiri.
Aku,  tidak  pernah  menyukai  seorang  wanita...  tapi kenapa  dia,  yang  baru  kutemui  membuatku  langsung  terpana” pikirku.

Perempuan  itu  berhenti  menyanyi  dan  melihat  ke  arahku.  Ia   mendekatiku  yang  memang  hanya  bisa  terdiam  seribu  bahasa.  Ia  tersenyum  dan  air  mata  mulai  mengalir  dari  matanya,  tentunya  aku  merasa  tak  nyaman  apalagi  ini  pertama  kalinya  seorang  wanita  menangis  dihadapanku.  Ia  memegang  tanganku  yang  anehnya  aku  mau  saja  diperlakukan  hal  itu,  selanjutnya  kedua  tanganku  ia  tempelkan  ke  pipinya.

”Edward... aku  benar-benar  rindu  kamu,  dan  kau  mengunjungiku  lagi.  Aku  senang!  Kenapa  lama  sekali  perginya?” Ia  mengatakan  hal  itu  seolah  sudah  lama  mengenalku.
”A... apa  maksudmu?  Na... namaku  bukan  Edward!  Tapi  Eduard,  Eduard  Adler!” Aku  mencoba  meyakinkan  wanita  ini  bahwa  aku  bukanlah  orang  yang  dikenalnya
“Kalau  bukan  Edward,  kenapa  kau  bisa  melihatku?  Kita  kan  berbeda  dunia.  Tapi,  aneh... kau  itu aneh! Kau  bisa  kurasakan  dan  kusentuh” Setelah  ia  mengatakan  hal  itu  wanita  itu  menghilang  begitu  saja.

Aku  menggaruk  kepalaku  yang  tidak  gatal  dan  saat  kulihat  jam,  aku  panik  karena  rapat  umum  pemegang  saham  perusahaan antara  pihak  pemegang  saham  serta  pihak  perusahaan akan  dimulai.  Kukemudikan  kembali  mobil  milikku  dengan   kecepatan  tinggi.  Sesampainya  aku disapa  beberapa  staff  serta  pemegang  saham.  Kali  ini  kami  sedang  membicarakan  tentang  perusahaan  di  Italia  yang  memang  sebentar  lagi  akan  bankrut dan  kebetulan  perusahaanku  ialah  pemegang  saham  mayoritas  disana  serta  beberapa  hal  lainnya  demi  kelangsungan  hidup  perusahaan  ini.

Namun,  sebuah  suara  wanita  yang  semakin  lama  menjadi  nyanyian  terdengar  olehku.  Hingga  aku  sedikit  terkejut  saat  salah  satu  pemilik  saham  memegang  saham  perusahaanku,  aku   hanya  bisa  meminta maaf.  Rapat  ini  berjalan  lancar  walaupun  sedikit  ada  gesekan  antar  pemegang  saham.

Seusai  rapat  ini  selesai, aku harus  menghadapi  dokumen  penting  yang  harus  kutandatangani  atau  kuperiksa.  Aku  hanya  menghela  nafas  panjang  melihatnya, pernah  sekali  dalam  benakku  untuk  kabur  dari  kenyataan  ini  dan  mungkin  aku  ingin  sekali  membuka  sebuah  kafe.  Aku  hingga  sekarang  masih  belum  mengerti  kenapa  aku  suka  sekali  dengan  makanan  yang  manis-manis,  terutama  saat  aku  memakan  Schwarzwälder Kirschtorte(1) buatan  mendiang  mutti(2). Saat  aku  sedang  melamun,  nyanyian  itu  terdengar  lagi.

Kemudian  aku  melangkahkan  kaki  ke  ruang  kerjaku.  Sekarang  aku  ada  dihadapan  meja  kerja yang  memang  berada  di ruangan  kerja  milikku. Meja  itu  penuh  dengan  dokumen  yang  harus  kukerjakan  sepenuhnya.  Aku  langsung  saja  mengerjakannya  karena  jika  dikeluhkan  atau  hanya  diperhatikan  semuanya   tidak  akan  selesai,  beberapa  dokumen  telah  kutandatangani  dan  sayangnya  perasaan  kantukku  mulai  menyerang.  Selanjutnya  aku  sudah  terbuai  dalam  mimpi.

Aku  membuka   mataku  dan  melihat  seorang  pria  yang  tingginya  sama  denganku,  jika  dilihat  sekilas  ia  seperti  kembaranku. Rambutnya  pirang  yang  anehnya  memiliki  gaya  potongan  yang  sama.  Saat  ia  membalikkan  badannya,  alangkah  terkejutnya  aku  melihat  wajahnya  yang  sama  persis denganku.  Ia  membelalakkan  matanya  dan  mulai  mendekatiku,  aku  hanya  bisa  terdiam.  Anehnya  saat  ia  tinggal  beberapa  langkah  dariku,  semuanya  hancur  menjadi  kepingan  dan  aku  sendirian  dalam  kegelapan  yang  hampa.  Nyanyian  itu  terdengar  lagi,  namun  ini  membuat  kepalaku  terasa  sakit  disertai  beberapa  kejadian  bersama  wanita  yang  kutemui  di  padang  rumput  itu.

Aku  terbangun  dengan  peluh  yang  mengucur.  Entah  kenapa  mimpi tadi  terasa  nyata dan  aku tak  mengerti  maksudnya.  Apakah  mimpi  tadi  itu  hanya  sebuah  bunga  tidur  atau  pertanda  lain.  Yang  pasti  semua  ini  terjadi  setelah  bertemu  wanita  misterius  tadi.

Seperti  biasa  aku  pergi  ke  kantor  pusat,  melewati  jalan  yang  berbeda.  Anehnya,  saat  aku  terdiam  memperhatikan  jalan  dihadapanku,  suara nyanyian  itu terdengar  lagi.  Namun  kali  ini  saat  aku  mendengar  suara  itu  dan   mulai  kehilangan  kesadaran  dan  hanya  kegelapan  yang  menyapaku,  sama  seperti  dimimpi.

Kali  ini  aku  terbangun disebuah  padang  rumput  dikelilingi  bermacam-macam  bunga.  Kulihat  wanita  itu  lagi  yang  sedang  menyanyi,  kali  ini  mukanya  menunjukkan  kedamaian  yang  membuat  hatiku  merasa  hangat  serta  nyaman. Ia  melihatku  dan  tersenyum.

”Apa  yang  kau  inginkan  sebenarnya?”  Sungguh  pertanyaan  yang  membingungkanku
”Aku...” Langsung  saja   ada  angin  kencang yang  menyebabkan  semua  hal  disekitarku  menghilang,  aku  bingung  namun  jantungku  jadi  berdetak  kencang.
Apa? Apa maksud  pertanyaan  tadi?”pikirku  bingung.

Kali  ini  aku  terbangun  di  sebuah  kastil  zaman  Renaissance  dengan  wanita  itu  lagi.  Namun  kali  ini  aku  melihatnya  mengobrol  dengan  pria  yang  mirip  denganku. Saat  aku  mencoba  meyapa mereka,  wanita  itu  menatapku  lagi.

”Apa  yang kau  inginkan  sebenarnya?” Pertanyaan yang  sama  seperti  waktu  itu.
Kali  ini  muncul  beberapa  orang  dibelakang  wanita  itu,  setelah  kulihat  ternyata  beberapa  prajurit  yang  meneriakkan  kata-kata  mengejutkan.
”Penyihir!  Penyihir  harus  dibunuh!”  Teriak  mereka.

Saat  aku  mencoba  untuk  menolongnya,  wanita  itu  justru  tersenyum  padaku  dan  menghilang,  ia  hanya  meninggalkan  bulu  berwarna  putih.  Pria  yang  mirip  denganku  menangis,  kemudian  ia  menatapku  lagi.

“Kumohon,  kalau  bertemu  “dia”  lagi... aku  minta  buatlah  ia  tersenyum  lagi” Pintanya.

Aku  tak  mengerti  maksud  perkataan  pria  ini.  Ia  hanya  tersenyum  penuh  makna  dan  sebuah  sinar  terang  muncul  membuatku  tak  bisa  melihat  apapun  lagi.  Kemudian  nyanyian  misterius  itu terdengar  dan  sekarang  suaranya  sangat  jelas  sehingga  aku  bisa  mendengarnya.
Let’s  forget  about  the  magic  that  will  stop  the  time,  now  is  time  for  joy…Entah  kenapa  lirik  tersebut  membuat  hatiku  terasa  hangat  dan  nyaman.
Kali  ini  aku  hanya  berduaan  dengan  wanita  misterius  itu.  Ia  tersenyum  dan  menghampiriku,  kali  ini  aku  memberanikan  diri  untuk  bertanya  padanya.
”Aku  dimana?  Kamu  siapa?  Lalu  identitas  pria  yang  mirip  denganku...”  Aku  bertanya   banyak  hal  padanya.
” Tapi,  apa  yang  kau  inginkan  sebenarnya  dari  hidup  ini?” Dia  justru  berbalik  bertanya.
”Aku... ingin...”

Semuanya  menjadi  gelap,  aku  sekali  lagi  terbangun  namun  kali  ini  di  ruang  kerja di  rumahku.  Aku   bingung,  kenapa  aku  bisa  disini dan  apa  maksud  mimpi  serta  pertanyaan  ini.  Tapi  aku  melihat  wanita  itu  dibalkon  rumahku,  ia  tersenyum  lagi  dan  selanjutnya  menjatuhkan  dirinya.  Mataku  melebar,  aku  berhenti  bernafas  karena  kejadian  itu  dan  sekali  lagi  nyanyian  itu  terdengar.

“Let’s  forget  about  the  magic  that  will  stop  the  time,  now  is  time  for  joy…”  Aku  langsung  terdiam,  semua  hal  yang  dihadapanku  menghilang dan  meninggalkanku  ditengah  kehampaan.

Kali  ini  wanita  itu  muncul dihadapanku,  aku  hanya  terpaku  dan  tidak  beranjak  dari  tempatku  berdiri.  Aku  mengepalkan  tanganku  dan  bertekad  untuk  benar-benar  bertanya  padanya.

”Kumohon  jawab  pertanyaanku!  Aku dimana?  Dan  kenapa  kau  selalu muncul!  Kalau  memang  ini  kenyataan  tidak  mungkin  aku  bisa  ditempat  yang  berbeda!”  Entah  kenapa  pertanyaanku  seperti  membentak
”Memang... bukan.  Kau  ada  di  dimensi  hampa  yang  bisa  ”membuat”  dunianya  sendiri.  Membuat  manusia  terpana  dan  selalu  ingin  di  dimensi  ini  atau  bisa  dikatakan  ini  dunia  mimpi  dan  khayalan”  ia  akhirnya  menjawab  dengan  tenang.

Aku  terdiam  dan  menunduk,  tidak  berani  menatapnya.

”Aku... aku  ingin  kembali  ke  kenyataan!  Banyak  yang  membutuhkanku  di  dunia  nyata!  Tolong!  Ini  keinginanku!”  Aku  memohon  dan  mengepalkan tangan  dengan  kuat
”Apa  benar?  Apa  benar   itu  keinginanmu?”  Ia  bertanya  dengan  nada  tak  yakin
”Benar”
”tapi  bukankah  kau  selalu  ingin  kabur  dari  kenyataan?  Ingin  melupakan  semua  hal  yang  kau  alami  dan  hidupmu,  kan?”
”...”  Aku  tak  menjawab  karena  memang  apa  yang  dikatakannya  itu  benar
”Tapi... walaupun  begitu,  aku  tidak  bisa  lari  dari  kenyataan.  Memang  mimpi  lebih  indah  dari  kenyataan  tapi... kalau  selalu  ”tidur”  tanpa  membuka mata  dan  melihat  dunia... itu  sama  saja  kita  tidak  mengakui  kenyataan” Aku  masih  menunduk  tidak  berani  menatapnya  kerena  malu  mendengar  perkataannya.
Ia  tersenyum, ”baiklah  kalau  memang  itu  keinginanmu”
Angin  lembut  menerpaku,  mataku  mulai  terasa  berat.  Selanjutnya  aku  membuka  mata dan  melihat disekelilingku  terdapat  banyak  orang.  Mereka  semua  melihatku dengan  tatapan  khawatir.
”Tuan... akhirnya  kau  bangun  dari  koma“ Kata  salah  satu  kolegaku
”Ko.. koma?”  Aku  kebingungan
”Iya,  Herr  Adler(3)...  anda  koma  selama  dua  minggu  karena  kecelakaan”
Aku  membuka  mulutku  untuk  mengatakan  sesuatu,  namun  kuurungkan  dan  memikirkan  tentang  mimpi  tadi  yang  membingungkan.

Seminggu  yang  lalu  aku  dirawat,  sekarang  aku  sudah  diperbolehkan  pulang. Kali  ini  aku  sedang  berjalan  di  jalan  yang  terdapat  banyak  kafe  hingga  mataku  terpaku  pada  salah  satunya.  Wanita  yang  jadi  pelayan  di kafe  itu  sama  seperti  dalam  mimpiku,  langsung saja  aku  menghampirinya.

Ia  tersenyum dan  mempersilahkan untuk  aku duduk.
”Apa  yang  anda  inginkan,  tuan?” Tanyanya lembut
”Aku ingin  mengenalmu  lebih  jauh” Jawabku
Ia  tersenyum  dengan  pipi  yang  merona  dan  duduk  didepanku
”Tentu”  Suaranya yang sama seperti dimimpi menyetujui permintaanku.

Aku  tersenyum  mendengarnya, hari  itu  kami  habiskan  bersama-sama  di kafe kecil miliknya ditemani secangkir teh dengan Schwarzwälder Kirschtorte yang anehnya sama enaknya dengan buatan mendiang mutti-ku.

(1)   Schwarzwälder Kirschtorte  :  Kue  Black  Forest
(2)   Mutti  :  Ibu
(3)   Herr  Adler  :  Tuan  Adler