Another short stories~
still in Indonesia 'cause I can't write the English one OTL
nah, akhirnya author yang lama hiatus balik lagi dan maaf! bukan fakta... malah cerita! Silahkan dibaca~
Kelamnya
malam disertai basahnya trotoar yang kutapaki di kota Manchester, Britania Raya membuat siapapun
akan merasa was-was untuk berada diluar. Ditambah dinginnya udara menusuk
hingga ketulang membuatku mengencangkan mantel yang membungkus badan. Mungkin
secangkir teh hangat bisa membuat keadaanku lebih baik. Entah kenapa malam ini
aku ingin sekali berada ditempat tidur dan tak berada disini. Tapi, apa boleh
buat saat salah satu temanmu mengajakmu makan malam. Kau tentunya tidak merasa
nyaman untuk menolak.
Aku
hanyalah salah satu dari segelintir orang Indonesia yang mencari sesuap nasi di
tanah orang. Seorang mojang dari Ciamis, sebuah kota kecil di Jawa Barat. Ditarik
ke tanah asing ini saat umurku menginjak 20 tahun dan itupun saat masih
memiliki titel mahasiswa. Jurusan yang kuambil bukanlah hal yang bisa dibilang
“wah” bagi masyarakat awam. Tapi aku bersyukur bisa pergi ke tanah yang berbeda
sangat dari tempatku berada.
Memang
hal pertama yang kurasakan adalah culture
shock dan biasanya banyak warga asing merasakan hal ini. Ah, aku tak
menyangka langkah kakiku telah sampai di depan apartemen milikku. Dengan
perasaan lelah kupaksa badanku menuju tempat tidur. Sesampainya disana,
ternyata tumpukan pekerjaan menghiasi meja. Laptop beserta flash disk ikut menghiasi meja kayu tersebut. Tanpa melihat
tumpukan kerja, kurebahkan badanku dan membiarkan kesadaranku hilang.
Pagi
hari, saat yang tepat dimana semua orang memulai aktifitas pertamanya. Aku memulai
hari sebelum matahari terbit untuk bermunajat kepada Allah SWT agar diberi
keberkahan hidup. Seusai berdzikir dan bermunajat kepada-Nya, kurapikan
peralatan sehabis sembahyang. Bola mata hitamku menatap sebuah foto yang
terdapat dimeja kerja. Disitu terdapat aku beserta kedua orang tuaku. Foto itu
diambil saat umurku masih 17 tahun dimana nama peserta didik melekat pada
diriku. Ah, masa SMA yang indah beserta tugas yang tak terlalu sulit seperti
sekarang.
Aku
berdiri menuju dapur kecil yang terdapat dipojok ruangan. Walaupun ukurannya
kecil, peralatn disini cukup lengkap. Bahkan ada sebuah oven melengkapi kompor
listrik. Hidupku cukup menyenangkan disini. Kecuali aku masih tetap single hingga sekarang. Lagi pula aku
tak memikirkan tentang hal itu dulu. Aku masih punya kewajiban untuk membantu
keuangan dan menyekolahkan adik beserta saudara yang memang meminta bantuanku.
Aku
menguap, memaksa badanku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Disini
tidak mandi air dingin layaknya di Indonesia. Kalau kau berani mandi
menggunakan air dingin, pasti akan merasa menyesal melakukannya. Terutama saat
musim dingin atau awal musim semi dimana salju turun. Uh, benar-benar dingin
sekali.
Kopi
sudah kuseduh, aromanya semerbak memenuhi ruangan ini. Mungkin jika ada kolegaku,
ia akan memandangku aneh. Kenapa? Karena faktanya orang Inggris lebih menyukai
teh daripada kopi. Bahkan ada beberapa yang membenci minuman berkafein
tersebut. Kalau aku sudah terbiasa dengan kedua jenis minuman tersebut.
Saat
masih di Indonesia mungkin emak akan menyuruhku untuk sarapan dengan makanan
buatannya. Tapi sekarang, hanya dua potong roti bakar beroles mentega jadi
sarapan sehari-hari.
“Wiwiiinnn! Sarapanna tos janten!*” ah,
beliau akan menggunakan bahasa Sunda dengan logatnya yang kental
“Muhun, emak!**” hanya itulah yang
kukatakan dan akhirnya memenuhi perut
Aku
mengedipkan mata berkali-kali karena perih terlalu lama membuka mata yang
disebabkan melamun. Sepertinya rasa rindu pada rumah muncul lagi. Tapi, aku tak
ingin pulang karena merasa malu dan takut pada negara sendiri. Merasa seperti
bukan bagian dari Indonesia lagi. Kalau ya, bagaimana bisa aku lupa beberapa
kata bahasa sunda? Itu sudah cukup menjelaskan.
Aku
merasa malu bukan karena perasaan bukan bagian dari Indonesia lagi. Melainkan
dikarenakan keadaan Indonesia dirasa cukup asing. Aku membaca media masa
Indonesia via online dan hanya
wajah-wajah asing yang kulihat. Wajah-wajah yang tak sebersahaja dulu. Bahkan
beberapa yang kubaca, tidak mencerminkan negara kesayanganku itu lagi. Aku
merasa takut, dimana orang dalam negeri sendiri membuat negaramu tak nyaman
lagi.
Memang
benar apa yang dikata orang kalau kita di tanah orang, kita bisa melihat
cerminan diri sendiri. Secara telanjang bulat alias porno. Itu juga menurut
sebuah cerita pendek karya satrawan terkenal dari Ibu Pertiwi. Membuat siapapun
merasa malu melihatnya. Aku mendengar sebuah cerita tentang keluh kesah orang-orang
kukenal dimana Indonesia terkena inflasi sehingga harga melambung tinggi.
Aku
hanya bisa merasa sedih mendengarnya. Bahkan pernah aku marah besar saat
beberapa mafia yang menyakiti Nusantara justru dengan bebasnya berjalan diluar
kamar hotel rodeo mereka. Tapi toh, aku
tak akan bisa membuat perubahan apalagi kalau kau adalah warga negara Indonesia
yang bekerja di luar negeri.
Kesibukanku
dikantor adalah bagian menghitung transaksi perusahaan atau seiring disebut
akuntan. Bola mata hitamku memindai kata-kata berisi laporan keuangan yang
belum disususn secara benar. Setelah ini aku harus membuat akun jurnal dan
terakhir jurnal laporan untuk dilaporkan.
KRIIING
Suara
telepon genggamku mengganggu konsentrasi dalam menghitung. Mau tak mau
kuangkat, sebuah nomor yang tak kukenal. Ingin kutolak panggilan itu, tapi
kuurungkan dan lebih memilih menjawabnya.
“Halo?
Ini teh Wiwin?” itulah suara diseberang
Aku
terkejut mendengarnya, “Iya, dengan siapa?”
Kuakui
bibirku berkedut dan terasa kaku karena sudah lama tak memakai bahasa Indonesia
secara langsung karena hanya dalam forum internet. Lagipula susah sekali
mencari warga serumpun yang mau diajak berbahasa Indonesia. Kufokuskan diriku
pada orang yang meneleponku.
“I…ini
the dari Ciamis, eneng Lana!”
terdengar sekali logat daerah tersebut
“Ahh,
eneng Lana! Kumaha? Damang?***” air mata tak kusangka muncul disudut mataku
“Alhamdulilla,
teteh! Emak hoyong éteh mulih kadieu…****”
Ah,
dia memintaku pulang. Apa yang harus kulakukan? Pekerjaanku menumpuk sekali.
Aku tak mungkin meninggalkan Manchester, bukan?
“Kumaha atuh, teteh teu bisa! Teteh keur
sibuk*****”
“Muhun teh, nuhun geus jawab telepon******”
Telepon
ditutup, aku menghela nafas panjang. Untuk pertama kalinya keluarga di
Indonesia meneleponku. Aku menutup mata kemudian menatap jalanan kota
Manchester dari lantai 12 gedung ini. Entah kenapa permintaan tadi
terngiang-ngiang dikepalaku. Aku juga tak ingin kembali kesana karena malas.
Tak kupirkan lagi telepon tadi dan melanjutkan kerja. Atau kalau tidak atasanku
mengamuk karena pekerjaan yang tak selesai.
Berjam-jam
bekerja, tak kusangka selesai juga. Membereskan kertas-kertas dan mematikan
Laptop adalah hal yang kulakukan saat ini. Melihat telepon genggam untuk
memeriksa waktu, membuat perasaan ingin pulang ke kampung halaman menyeruak
lagi. Mungkinkah ada hal buruk hingga membuatku ingin benar-benar pulang?
Sesampainya
dirumah aku membersihkan badan dan kemudian kembali menatap layar Laptop. Kali
ini bukan karena pekerjaan, haus akan informasi adalah alasan utama. Aku
membuka website berita Indonesia dan
kudapati adalah masalah negara yang sedang konflik. Tumben sekali bukan berita korupsi yang berkoar-koar. Hingga sebuah
berita membahas keadaan local menarik perhatian mata.
“SEBUAH
LONGSOR TERJADI DI CIAMIS MELANDA BEBERAPA DESA”
Judul
berita itu membuat bibirku bergetar, tenggorokan kering dan badan yang
bergetar. Kuharap desa Emak tidak terkena dampaknya. Semoga keluargaku
baik-baik saja. Hingga otakku menyadari tentang telepon tadi. Mungkinkah?
Kutelepon
balik nomor tadi dan tak diangkat. Kutelepon kembali hingga berulang-ulang.
Sampai diangkat, kudengar hanyalah sebuah suara tangisan dalam telepon itu.
Wajahku pucat pasi kalau dilihat lewat kaca. Aku memegang teleponku dengan
tangan bergetar.
“Lana, kumaha di dinya?*******” aku
bertanya hal itu dengan suara bergetar
“Teh, emak hoyong ngomong jeung teteh********”
hanya itulah responnya
Aku
bisa mendengar kalau telepon genggam sedang diberikan.
“Wiwin… mulih ka bumi atuh. Emak teh hoyooong papanggih jeung Wiwin. Wiwin
didinya damang? Emak teh ngarasa senang… Wiwin, Emak teh sayaaang kau Wiwin*********” nada seseorang yang
terdengar sudah berumur tersengal-sengal akhirnya terhenti, hanya ada
keheningan dan tangisan histeris pecah begitu saja.
Aku
tak bisa bicara apa-apa lagi. Telepon genggam yang kupegang erat terjatuh
kelantai. Menyebabkan benda itu hancur menjadi bagian-bagian. Aku tak peduli
dengan benda itu, aku baru saja kehilangan seseorang.
Persetan
dengan keadaan Indonesia. Persetan dengan berita tentang keadaan disana sedang
bermasalah hingga polisi ditembak. Persetan dengan berita tentang wajah-wajah
asing di Indonesia.
“Abdi hoyong mulih ka bumis”
…
* Wiwin! Sarapannya telah matang!
** Iya, Emak!
*** Ahh, eneng (semacam panggilan untuk gadis yang lebih muda) Lana! Bagaimana?
Sehat-sehat saja?
**** Emak pengen teteh kesini
***** Bagaimana ini, kakak (perempuan)
tidak bisa! Kakak sedang sibuk!
****** Iya teh, terima kasih sudah
menjawab telepon
******* Bagaimana disana?
******** Kak, Emak ingin mengobrol dengan kakak
********* Wiwin… pulang ke rumah ya.
Emak ingin sekali bertemu dengan Wiwin. Wiwin disana baik-baik saja? Emak
merasa senang… Emak sayang kepada Wiwin